Cari ASKEP Lengkap Disini

Jumat, 30 September 2011

ASKEP AKNE ( jerawat )

Pendahuluan

Akne Vulgaris (AV) merupakan kelainan folikuler umum yg mengenai folikel polisebasea, yang rentan dan paling sering ditemukan didaerah muka, leher, dan badan bagian atas. AV ditandai oleh komedo tertutup (whitehead), komedo terbuka (blackhead), papula, pustula, nodul dan kista. Sering pada remaja dan dewasa muda, usia antara 12-35 tahun. Insiden tertinggi pada wanita di usia 14-17 tahun, dan pria di usia 16-19 tahun (Clark.1993), karena fungsi kelenjar endokrin tertentu yang mempengaruhi sekresi kelenjar sebasea dan mencapai puncaknya pada usia tersebut.



Faktor hormonal, genetik dan bakterial menjadi penyebab AV. Pada AV dapat ditemukan papula, pustula, nodul, bahkan kista. Papula; < 0,5 cm; masa menonjol, teraba dan padat, tepi sirkumskripta. Pustula; < 0,5 cm; menonjol, teraba, berisi pus, tepi sirkumskripta. Nodul; < 0,5-2,0 cm ; massa yg menonjol teraba & padat, meluas sampai ke dlm epidermis. Kista; Massa semi padat atau berisi cairan yg berkapsul, dalam jaringan subkutan atau dermis.



Patogenesis

Kelenjar sebasea dibawah kendali endokrin, khusunya hormon androgen. Pada anak-anak kelenjar sebasea masih kecil dan belum berfungsi. Pada masa pubertas, androgen menstimulasi kelenjar sebasea, sehingga kelenjar sebasea membesar dan mensekresikan minyak alami (sebum). Sebum merembes hingga folikel rambut dan mengalir permukaan kulit. Pada remaja jerawatan, stimulasi androgen akan meningkatkan daya responsif kelenjar sebasea, sehingga terjadi AV akibat duktus polisebaseus tersumbat oleh tumpukan sebum dan tumpukan tersebut membentuk komedo.



Manifestasi Klinis

Komedo tertutup, lesi obstruktif, terbentuk dari lipid/minyak yang terjepit, dan keratin yang menyumbat folikel, berupa papula kecil,warna keputihan dengan lobang folikuler yg halus. Komedo tertutup dapat menjadi terbuka, dimana isi saluran mempunyai hubungan dengan lingkungan luar. Komedo tertutup dapat mengalami ruptur dan menimbulkan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh perembesan isi folikel (sebum,keratin,bakteri) ke dermis, berupa papula eritematosa, pustula dan kista inflamatorik.

Komedo terbuka, terjadi karen akumulasi lipid, bakteri, dan debris epitel. Reaksi inflamasi akibat propionibakterium acnes yang hidup dalam folikel rambut dan menguraikan trigliserida dari sebum menjadi asam lemak bebas serta gliserin. Pada komedo terbula, papula dan kista akan kempis sendiri tanpa terapi. Papula dan kista yang lebih dalam menyebabkan jaringan parut pada kulit (Stawiski. 1992)



Derajat Akne (Stawiski,1992)

Derajat I: Komedo Å, Papula/Pustula, berjumlah kurang dari 10 komedo pada salah satu sisi wajah.

Derajat II: Komedo Å, Papula/Pustula , berjumlah kurang dari 10 hingga 20 komedo pada salah satu sisi wajah.

Derajat III: Komedo Å, Papula/Pustula , berjumlah kurang 25 hingga 50 komedo pada salah satu sisi wajah.

Derajat IV: Komedo Å, Papula/Pustula , berjumlah kurang lebih dari 50 komedo pada salah satu sisi wajah.



Tujuan Penatalaksanaan

1. Mengurangi koloni bakteri.

2. Menurunkan aktivitas sebasea.

3. Mencegah folikel tidak tersumbat.

4. Mengurangi inflamasi.

5. Memerangi infeksi sekunder.

6. Meminimalkan pembentukan jaringan parut.

7. Mengeliminasi faktor-faktor predisposisi



Penatalaksanaan

Program terapi bergantung pada tipe lesi (komedo, papuler, pustuler, dankistik). Lesi ringan sampai sedang, hanya memerlukan terapi topikal.

D i e t, tidak memainkan peranan yg utama dalam terapi, namun galakkan penghindaran jenis cokelat,cola, gorengan, dan produk susu.

Higiene Kulit, pada akne ringan membasuh muka dua kali sehari dengan sabun pembersih muka (seperti lava, dial, neutrogena), untuk menghilangkan minyak yang berlebihan dan melenyapkan komedo. Nasihat positif untuk menentramkan kekhawatiran klien. Mendengarkan keluhan klien untuk menciptakan psikologis dan pemahaman tentang penyakit da rencana terapi. Krim/produk kosmetik berbahan dasar minyak tidak dianjurkan. Sarankan stop pemakaian obat bebas, waktu terapi tergantung kasus, dapat beberapa bulan sampai beberapa tahun.

Farmakologi Topikal, gunakan obat yang mengandung benzoil peroksida untuk menekan produksi sebum, antibakteri. Asam vitamin A, untuk menghilangkan sumbatan keratin di duktus polisebasea. Antibiotik topical untuk menekan pertumbuhan propionibakterium acnes.

Terapi Sistemik, antibiotik sistemik digunakan pada akne sedang sampai berat, yaitu Tetrasiklin 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan, efektif karens sulit diserap bersama makanan. Kontra Indikasi (KI) tertrasiklin pada usia kurang dari 12 tahun atau kehamilan karena menyebabkan hipoplasia enamel dan perubahan permanen warna gigi. Efek samping (ES): mual, diare, vaginitis, dan fotosensitivitas.

Retinoid Oral

Senyawa vitamin A sintetik: isotretonoin (accutane), mengurangi ukuran kelenjar sebasea dan menghambat produksi sebum, dan menyebabkan deskuamasi epidermis sehingga komedo terlepas. ES, keilitis (inflamasi kering), menimbulkan defek pada system kardiovaskuler, susunan saraf pusat (SSP), struktur wajah (janin). Tidak boleh hamil setelah terapi atau KB selama empat sampai delapan minggu.

Terapi Hormon

Preparat progesteron-estrogen mensupresi produksi sebum dan mengurangi keadaan kulit yang berminyak.

Terapi Pembedahan

Bedah terdiri dari ekstraksi komedo, penyuntikan kortikosteroid ke dalam lesi, insisi, dan rainage. Pada ekstraksi komedo: bersihkan lokasi, kemudian tusuk dengan needle ukuran 18 atau menggunakan ujung ujung skapel,dan keluarkan komedo (bila ada komedo tertinggal dalam kanalis pilosebasea.



Pengkajian

Kaji persepsi klien, penggunaan obat-obatan, preparat kosmetik, dan adanya komedo tertutup atau terbuka.



Diagnosis Keperawatan

Penatalaksanaan program terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pengetahuan kurang memadai (penyebab,perjalanan penyakit,pencegahan,pengobatan dan perawatan kulit).
Gangguan citra tubuh bd rasa malu dan frustasi terhadap tampilan dirinya.



Komplikasi atau masalah kolaborasi

Pembentukan sikatriks dan terjadinya infeksi.



Intervensi/Implementasi Keperawatan

Meningkatkan kepatuhan dan pemahaman terhadap terapi; penyuluhan dan yakinkan bahwa masalah tidak berhub dengan ketidakbersihan, diet, masturbasi, aktivitas seksual. Namun tegaskan bahwa penyebabnya faktor herediter, kelenjar sebasea yang besar, jumlah propionibakterium acnes yang banyak dan diluar kendali kita. Informasi pemakaian obat topikal dan oral yang tidak sebentar dan hindari obat bebas.

Meningkatkan penerimaan diri, ikutsertakan klien dalam terapi, dukungan (support) dan faktor emosional harus dipertimbangkan, termasuk kemungkinan konflik remaja dan orang tua.

Kamis, 29 September 2011

Askep Bronchopneumonia (paru-paru basah)

A. PENGERTIAN

Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat (Whalley and Wong, 1996).
Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.

B. ETIOLOGI

1. Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial Pneumoni), Mycobacterium Tuberculosis.
2. Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.
3. Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus Sp, Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
4. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah daya tahan tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.

C. PATOFISIOLOGI

Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus. Inflamasi bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.
Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema ( tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru ) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas. Secara singkat patofisiologi dapat digambarkan pada skema proses.

D. MANIFESTASI KLINIS

Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas. Penyakit ini umumnya timbul mendadak, suhu meningkat 39-40 OC disertai menggigil, napas sesak dan cepat, batuk-batuk yang non produktif “napas bunyi” pemeriksaan paru saat perkusi redup, saat auskultasi suara napas ronchi basah yang halus dan nyaring.
Batuk pilek yang mungkin berat sampai terjadi insufisiensi pernapasan dimulai dengan infeksi saluran bagian atas, penderita batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia dan kesulitan menelan.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pengambilan sekret secara broncoscopy dan fungsi paru untuk preparasi langsung, biakan dan test resistensi dapat menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini tidak rutin dilakukan karena sukar.
2. Secara laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000 – 40.000 / m dengan pergeseran LED meninggi.
3. Foto thorax bronkopeumoni terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.

F. PENATALAKSANAAN

Kemotherapi untuk mycoplasma pneumonia, dapat diberikan Eritromicin 4 X 500 mg sehari atau Tetrasiklin 3 – 4 mg sehari.
Obat-obatan ini meringankan dan mempercepat penyembuhan terutama pada kasus yang berat. Obat-obat penghambat sintesis SNA (Sintosin Antapinosin dan Indoksi Urudin) dan interperon inducer seperti polinosimle, poliudikocid pengobatan simtomatik seperti :
1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah.
2. Simptomatik terhadap batuk.
3. Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif
4. Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan broncodilator.
5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat. Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebab yang mempunyai spektrum sempit.

G. KOMPLIKASI

Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :
1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
2. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
4. Infeksi sitemik
5. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
6. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

A. PENGKAJIAN

1. Riwayat kesehatan
a) Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya : batuk, pilek, demam,
b) Anorexia, sukar menelan, mual dan muntah.
c) Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti malnutrisi.
d) Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernapasan
e) Batuk produktif, pernafasan cuping hidung, pernapasan cepat dan dangkal,
gelisah, sianosis
2. Pemeriksaan fisik
a) Demam, takipnea, sianosis, pernapasan cuping hidung
b) Auskultasi paru ronchi basah
c) Laboratorium leukositosis, LED meningkat atau normal
d) Rontgent dada abnormal (bercak, konsolidasi yang tersebar pada kedua paru)
3. Factor fsikologis / perkembangan memahami tindakan
a) Usia tingkat perkembangan
b) Toleransi / kemampuan memahami tindakan
c) Koping
d) Pengalaman terpisah dari keluarga / orang tua
e) Pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya
4. Pengetahuan keluarga / orang tua
a) Tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit saluran pernapasan
b) Pengalaman keluarga tentang penyakit saluran pernafasan
c) Kesiapan / kemauan keluarga untuk belajar merawat anaknya

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan kapiler alveoli.
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan.
4. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi yang tidak adekuat.
5. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi
6. Kurang pengetahuan orang tua tentang perawatan klien berhubungan dengan
kurangnya informasi.
7. Cemas anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi

C. INTERVENSI

1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
sekret.
Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil : sekret dapat keluar.
Rencana tindakan :
1. Monitor status respirasi setiap 2 jam, kaji adanya peningkatan pernapasan dan bunyi napas abnormal.
2. Lakukan suction sesuai indikasi.
3. Beri terapi oksigen setiap 6 jam
4. Ciptakan lingkungan nyaman sehingga pasien dapat tidur dengan tenang
5. Beri posisi yang nyaman bagi pasien
6. Monitor analisa gas darah untuk mengkaji status pernapasan
7. Lakukan perkusi dada
8. Sediakan sputum untuk kultur / test sensitifitas
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan kapiler alveoli
Tujuan : pertujaran gas kembali normal.
Kriteria Hasil : Klien memperlihatkan perbaikan ventilasi, pertukaran gas
secara optimal dan oksigenisasi jaringan secara adekuat
Rencana tindakan :
1. Observasi tingkat kesadaran, status pernafasan, tanda-tanda cianosis
2. Beri posisi fowler sesuai program / semi fowler
3. Beri oksigen sesuai program
4. Monitor AGD
5. Ciprtakan lingkungan yang nyaman
6. Cegah terjadinya kelelahan
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan
Tujuan : Klien akan mempertahankan cairan tubuh yang normal
Kriteria Hasil : Tanda dehidrasi tidak ada.
Rencana tindakan :
1. Catat intake dan output cairan (balanc cairan)
2. Anjurkan ibu untuk tetap memberikan cairan peroral
3. Monitor keseimbangan cairan , membran mukosa, turgor kulit, nadi cepat, kesadaran menurun, tanda-tanda vital.
4. Pertahankan keakuratan tetesan infus
5. Observasi tanda-tanda vital (nadi, suhu, respirasi)
4. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat
Tujuan : Kebuituhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil : Klien dapat mempertahankan/meningkatkan pemasukan
nutrisi.
Rencana tindakan :
1. Kaji status nutrisi klien
2. Lakukan pemeriksaan fisik abdomen klien (auskultasi, perkusi, palpasi, dan inspeksi)
3. Timbang BB klien setiap hari.
4. Kaji adanya mual dan muntah
5. Berikan diet sedikit tapi sering
6. Berikan makanan dalam keadaan hangat
7. kolaborasi dengan tim gizi
5. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan : Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
Kriteria Hasil : Hipertermi/peningkatan suhu dapat teratasi dengan proses
infeksi hilang
Rencana tindakan :
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Berikandan anjurkan keluarga untuk memberikan kompres dengan air pada daerah dahi dan ketiak
3. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan
4. Berikan minum per oral
5. Ganti pakaian yang basah oleh keringat
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat penurun panas.
6. Kurang pengetahuan orang tua tentang perawatan klien berhubungan
dengan kurangnya informasi
Tujuan : Pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit
anaknya meningkat setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria Hasil : Orang tua klien mengerti tentang penyakit anaknya.
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit anaknya
2. Kaji tingkat pendidikan orang tua klien
3. Bantu orang tua klien untuk mengembangkan rencana asuhan keperawatan dirumah sakit seperti : diet, istirahat dan aktivitas yang sesuai
4. Tekankan perlunya melindungi anak.
5. Jelaskan pada keluarga klien tentang Pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pengobatan, pencegahan dan komplikasi dengan memberikan penkes.
6. Beri kesempatan pada orang tua klien untuk bertanya tentang hal yang belum dimengertinya
7. Cemas anak berhubungan dengan dampak hospitalisasi
Tujuan : Cemas anak hilang
Kriteria Hasil : Klien dapat tenang, cemas hilang, rasa nyaman terpenuhi
setelah dilakukan tindakan keperawatan
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat kecemasan klien
2. Dorong ibu / keluarga klien mensufort anaknya dengan cara ibu selalu didekat klien.
3. Fasilitasi rasa nyaman dengan cara ibu berperan serta merawat anaknya
4. Lakukan kunjungan, kontak dengan klien
5. Anjurkan keluarga yang lain mengunjungi klien
6. Berikan mainan sesuai kesukaan klien dirumah

D. EVALUASI

Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan Brochopneumonia adalah :
1. Pertukaran gas normal.
2. Bersihan jalan napas kembali efektif
3. Intake dan output seimbang
4. Intake nutrisi adekuat
5. Suhu tubuh dalam batas normal
6. Pengetahuan keluarga meningkat
7. Cemas teratasi

DAFTAR PUSTAKA

DR. Nursalam, M.Nurs, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak.
Jakarta : Salemba Medika
A. Aziz Alimul Hidayat. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Edisi 2.
Jakarta : Salemba Medika

ASKEP TBC

TBC ( TUBERKULOSIS )

  1. TEORI
    Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.
    Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979 ? 1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk.
    Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintahd an swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
    Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) -atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).

    Definisi :
    Penyakit Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
    Kuman Tuberkulosis :
    Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu taha terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

    Cara Penularan :
    Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya.
    Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
    Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.


    Resiko Penularan :
    Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1 ? 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.

    Riwayat terjadinya Tuberkulosis

    Infeksi Primer :
    Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuma TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 ? 6 minggu.
    Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
    Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

    Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) :
    Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
    Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis :
    Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

    Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
    Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
    Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
    Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
    Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
    Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
    Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.
    Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.
    Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati :
    Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai ?kasus Kronik? yang tetap menular (WHO 1996).

    Pengaruh Infeksi HIV :
    Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

    Gejala - gejala Tuberkulosis Gejala Umum :
    Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.
    Gejala Lain Yang Sering Dijumpai :
    Dahak bercampur darah.
    Batuk darah.
    Sesak napas dan rasa nyeri dada.
    Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.


    Penemuan pederita Tuberkulosis (TB)
    Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Orang Dewasa.
    Penemuan penderita TB dilakukan secara Pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotive Case Finding
    Selain itu, semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu ? pagi ? sewaktu (SPS).
    Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Anak.
    Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit. Sebagian besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin.

    Diagnosis Tuberkulosis (TB)
    Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa.
    Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif.
    Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.
    Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita diidagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
    Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan.
    Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan.
    Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 ? 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS :
    Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
    Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
    - Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif.
    - Bila hasil ropntgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

    UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk difoto rontgen dada.
    ALUR DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG DEWASA
    Di Indonesia, pada saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis Karena tingginya prevalensi TB. Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium Tuberculosis . Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis. Misalnya pada penderita HIV / AIDS, malnutrisi berat, TB milier dan Morbili.

    Refleksi Hari TBC Sedunia
    Setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai hari Tuberkulosis (TBC) sedunia. Tahun ini peringatan hari TBC sedunia bertemakan "Every Breath Counts, Stop TB Now!". Tema ini menekankan pada kata "breath" yang tidak hanya berarti pernapasan, tetapi juga merupakan pusat dari segala aktivitas manusia. Sehingga, rusaknya "breath" karena TBC akan mengakibatkan rusaknya segala aktivitas manusia. Tema ini sekali lagi mengingatkan kita akan bahaya TBC dan urgensi pemberantasannya. Dalam rangka memperingati hari TBC ini juga dilakukan "2nd Stop TBC Partners", forum dan kampanye Stop TBC untuk 2004-2005 yang diselenggarakan di New Delhi.

    Pembunuh massal
    Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa bakteri mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan TBC adalah bekteri pembunuh massal. WHO memperkirakan bakteri ini membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya. Antara tahun 2002-2020 diperkirakan sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi. Dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta tiap tahunnya. Biasanya 5-10 persen di antara infeksi berkembang menjadi penyakit, dan 40 persen di antara yang berkembang menjadi penyakit berakhir dengan kematian.
    Jika dihitung, pertambahan jumlah pasien TBC akan bertambah sekitar 2,8-5,6 juta setiap tahun, dan 1,1-2,2 juta jiwa meninggal setiap tahun karena TBC. Perkiraan WHO, yakni 2 juta jiwa meninggal tiap tahun, adalah berdasarkan perhitungan ini. Angka ini adalah angka yang besar, karena 2-4 orang terinfeksi setiap detik, dan hampir 4 orang setiap menit meninggal karena TBC ini. Kecepatan penyebaran TBC bisa meningkat lagi sesuai dengan peningkatan penyebaran HIV/AIDS dan munculnya bakteri TBC yang resisten terhadap obat.
    Selain itu migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TBC. Di Amerika Serikat, hampir 40 persen dari penderita TBC adalah orang yang lahir di luar negeri. Mereka imigrasi ke Amerika dan menjadi sumber penyebaran TBC. Begitu juga dengan meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan lingkungan yang tidak sehat sehingga memudahkan penyebaran TBC. Diperkirakan sebanyak 50 persen dari pengungsi di dunia berpeluang terinfeksi TBC.
    Di kawasan Asia Tenggara, data WHO (http:www.whosea.org) menunjukan bahwa TBC membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 persen dari kasus TBC di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Dua di antara tiga negara dengan jumlah penderita TBC terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia, berada di wilayah ini. Indonesia berada di bawah India, dengan jumlah penderita terbanyak di dunia, diikuti Cina di peringkat kedua.
    Dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, TBC juga menjadi pembunuh nomor satu di kawasan ini, di mana jumlahnya 2-3 kali jumlah kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS yang berada di peringkat kedua. Sementara itu, penyakit tropis seperti demam berdarah dengue (DBD) tidak sampai sepersepuluhnya. Kita bisa membayangkan betapa seriusnya masalah TBC ini.
    Karena itu, perlu kita sadari kembali bahwa TBC adalah penyakit yang sangat perlu mendapat perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri mycobacterium tuberculosis sangat mudah menular melalui udara pada saat pasien TBC batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah dan berbicara. Satu penderita bisa menyebarkan bakteri TBC ke 10-15 orang dalam satu tahun.
    Berdasarkan data Rumah Sakit "Prof DR Sulianti Saroso" (http:www.infeksi.com), di Indonesia tiap tahun terdapat 583 ribu kasus dan 140 ribu di antaranya meninggal dunia. Jika dihitung, setiap hari 425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Kalau 1 orang pasien bisa menularkan ke 10 orang, pada tahun berikutnya jumlah yang tertular adalah 5,8 juta orang. Karena itu, jelaslah bahwa TBC adalah pembunuh massal yang harus diberantas.

    Terapi TBC

    Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri, pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
    Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan.
    Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini.
    Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TBC akan semakin sulit dilaksanakan.
    DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000 (http:www.who.int). Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi.

    Imunisasi

    Pengontrolan TBC yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyaki TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu, vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua bulan.
    Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70-80 persen. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin ini tidak sempurna, secara global ada dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya. Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat terhadap orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa terhadap mereka. Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan diagnosa yang rapi inilah yang menjadi kunci pengontorlan TBC di AS.
    Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80 persen, sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negara-negara Eropa dan Jepang adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang telah memutuskan untuk melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa melakukan tes Tuberculin, tes yang dilakukan untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus TBC di Jepang, dianggap semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak perlu lagi dilaksanakan.
    Bagaimana dengan Indonesia? Karena Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak, agaknya masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan melaksanakan vaksinasi ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang, sehingga memudahkan kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi. Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi perlu dilakukan untuk memberantas TBC dari bumi Indonesia.
    : Andi Utama (Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI dan Pemerhati Masalah Kesehatan)


    PERANGI TBC :

    10 HAL TENTANG TBC DAN PENANGGULANGANNYA.
    10 FAKTA PENTING MENGENAI SITUASI TBC DI INDONESIA
    Tiap tahun terdapat 583.000 kasus TBC di Indonesia
    Secara nasional, TBC ?membunuh? kira-kira 140.000 orang setiap tahun
    Setiap hari 425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia.
    Indonesia merupakan ?penyumbang? kasus TBC ke-3 di Dunia, setelah RRC dan India.
    Tingkat resiko untuk terserang TBC di Indonesia berkisar antara 1,7 % - 4,4 % ( menurut data 1972-1987 ).
    Sekitar ¾ pasien TBC di Indonesia tergolong dalam usia produktif.
    Tahun 1995, pemerintah Indonesia mulai mengadopsi starategi DOTS (Directly Observed Tratment Short-Course) untuk menanggulangi TBC.
    Tahun 1996, obat TBC di Puskesmas diberikan dalam bentuk Kombipak.
    Tahun 1999 merupakan dimulainya era penting dalam penanggulangan TBC di Indonesia, karena dibentuknya GERDUNAS-TBC (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TBC) yang merupakan wujut nyata kemitraan dengan berbagai sektor yang terkait dalam penanggulangan TBC di Indoensia.
    Penelitian ekonomi kesehatan di Indonesia menemukan bahwa jika pengobatan dapat diterapkan secara dini, setiap US$­­ 1 yang untuk program penanggulangan TBC, maka akan dapat menghemat US$­­ 55 dalam waktu 20 tahun.

    10 FAKTA PENTING MENGENAI TBC

    Tiap tahun selalu terdapat peningkatan jumlah penderita TBC yang tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
    TBC membunuh lebih banyak kaum muda dan wanita dibandingkan penyakit menular lainnya.
    Terdapat sekitar 2 sampai 3 juta orang meninggal akibat TBC setiap tahun. Sesungguhnya setiap kematian akibat TBC itu bisa dihindari.
    Setiap detik, ada 1 orang yang meninggal akibat tertular TBC.
    Setiap 4 detik, ada yang sakit akibat tertular TBC.
    Setiap tahun. 1 % dari seluruh populasi di seluruh dunia terjangkit oleh penyakit TBC.
    Sepertiga dari jumlah penduduk di dunia ini sudah tertular oleh kuman TBC (walaupun) belum terjangkit oleh penyakitnya.
    Penderita TBC yang tidak berobat dapat menularkan pentakit kepada sekitar 10 ? 15 orang dalam jangka waktu 1 tahun.
    Seperti halnya flu, kuman TBC menyebar di udara pada saat seseorang yang menderita TBC batuk dan bersin, meludah atau berbicara.
    Kuman TBC biasanya menyerang paru-paru.

    10 FAKTA PENTING MENGENAI TBC & PERPINDAHAN PENDUDUK

    Sekitar 50 % dari jumlah pengungsi di seluruh dunia kemungkinan telah tertular TBC, Setiap tahunnya, lebih dari 17.000 orang pengungsi menderita sakit akibat TBC.
    Populasi pengungsi menghadapi peningkatan masalah akibat TBC; jumlah pengungsi dan pelarian di seluruh dunia telah berlipat 9 kali selama 20 tahun terakhir.
    Penderita TBC yang tidak dirawat dapat menyebarkan penyakitnya secara cepat, terutama di lingkungan penampungan dan kamp pengungsi, Amatlah sulit memberikan perawatan TBC bagi penduduk yang berpindah-pindah.
    WHO merekomendasikan bahwa TBC harus menjadi prioritas utama, sesegera mungkin setelah fase darurat bagi para pengungsi itu berlalu.
    Turisme, perjalanan antar-negara dan migrasi menunjang terjadinya penyebaran kuman TBC.
    Di banyak negara industri maju, paling tidak setengah dari jumlah kasus TBC, ditemukan pada orang-orang yang lahir di negara lain.
    Di Amerika Serikat, 1/3 dari jumlah kasus TBC, ditemukan pada orang yang tempat kelahirannya bukan di AS
    Jumlah kasus TBC di AS diantara orang-orang yanglahirnya bukan di AS, senantiasa meningkat setiap tahun.
    Kaum gelandangan di negara maju merupakan golongan yang resiko tertular TBC-nya semakin meningkat.
    Pada tahun 1995, dilaporkan bahwa hampir 30 % dari populasi gelandangan di San Francisco (AS) dan sekitar 25 % dari populasi gelandangan di London (Inggris) telah tertular oleh kuman TBC ? jauh lebih tinggi daripada rata-rata nasional di kedua negara tersebut.

    10 FAKTA PENTING MENGENAI TBC & PEREMPUAN

    TBC merupakan penyakit menular paling ganas yang menyerang dan membunuh kaum perempuan.
    Lebih dari 900 juta wanita di seluruh dunia tertular oleh kuman TBC. 1 juta diantaranya akan meninggal dan 2,5 juta akan segera menderita penyakit tersebut pada tahun ini, Perempuan yang menderita TBC ini berusia antara 15 ? 44 tahun.
    TBC merupakan penyakit pembunuh yang paling mematikan bagi perempuan muda usia.
    TBC memiliki andil sekitar 9 % dari kematian berusia 15-44 tahun, dibandingkan penyebab kematian lainnya (akibat perang:4%,HIV:3%,dan penyakit jantung:3 % ).
    Perempuan dalam usia reproduksi lebih rentan terhadap TBC dan lebih mungkin terjangkit oleh penyakit TBC dibandingkan pria dari kelompok usia yang sama.
    Wanita pada kelompok usia reproduksi juga beresiko lebih tinggi terhadap penuaran HIV.
    Di sebagian negara Afrika, jumlah perempuan yang terjangkit TBC lebih besar dibandingkan jumlah penderita pria.
    TBC menyebabkan jumlah kematian lebih besar bagi wanita dibandingkan kematian akibat melahirkan.
    Di beberapa bagian dunia, stigma atau rasa malu akibat TBC menyebabkan terjadinya isolasi, pengucilan dan perceraian bagi kaum wanita.
    Di beberapa bagian dunia, pergerakan kaum perempuan sedang mengusahakan adanya upaya lebih baik penanggulangan penyakit TBC.

    APAKAH DOTS ITU ?
    DOTS atau kependekan dari Directly Observed Treatment, Short-course adalah strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan secara langsung.
    Dengan menggunakan startegi DOTS, maka proses penyembuhan TBC dapat secara cepat.
    DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TBC agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
    Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95 %. Startegi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TBC.
    Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :
    o Adanya komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TBC.
    o Diagnosis penyakit TBC melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
    o Pengobatan TBC dengan paduan obat anti-TBC jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).
    o Tersedianya paduan obat anti-TBC jangka pendek secara konsisten.
    o Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TBC sesuai standar.


  1. ANALISA DATA
    NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI
    1 Diisi pada saat tanggal pengkajian Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
  2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

    • Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
    • Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
    • Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
    • Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, penurunan geraan silia, stasis dari sekresi.
    • Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan berhubungan dengan infornmasi kurang / tidak akurat.

  3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
    NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN PERENCANAAN
    1 Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
    Kebersihan jalan napas efektif.
    Dengan Kriteria Hasil :
    ? Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
    ? Mendemontrasikan batuk efektif.
    ? Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
    1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
    2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
    3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
    4. Lakukan pernapasan diafragma.
    5. Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
    6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
    7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
    8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
    2 Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
    Pertukaran gas efektif.
    Kriteria Hasil :
    ? Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
    ? Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
    ? Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
    1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
    2. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
      R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
    3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
    4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
    5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
    3 Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
    Kebutuhan nutrisi adekuat
    Kriteria Hasil :
    ? Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori
    ? Menu makanan yang disajikan habis
    ? Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema
    1. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual.
    2. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan.
    3. Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan).
    4. Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan 1 jam sebelum dan sesudah makan.
    5. Atur makanan dengan protein/kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien merasa paling suka untuk memakannya.
    6. Konsul dengan dokter/shli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrien yang cukup.

Minggu, 25 September 2011

ASKEP SIFILIS

SIFILIS 

A. PENGERTIAN
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini sangat kronik, bersifat sistemik dan menyerang hampir semua alat tubuh.
B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah Treponema pallidum yang termasuk ordo spirochaetales, familia spirochaetaceae, dan genus treponema. Bentuk spiral, panjang antara 6 – 15 µm, lebar 0,15 µm. Gerakan rotasi dan maju seperti gerakan membuka botol. Berkembang biak secara pembelahan melintang, pembelahan terjadi setiap 30 jam pada stadium aktif.
C. EPIDEMIOLOGI
Asal penyakit tidak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis melelui hubungan seksual. Pada abad ke-15 terjadiwabah di Eropa. Sesudah tahun 1860, morbilitas sifilis menurun cepat. Selama perang dunia II, kejadian sifilis meningkat dan puncaknya pada tahun 1946, kemudian menurun setelah itu.
Kasus sifilis di Indonesia adalah 0,61%. Penderita yang terbanyak adalah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.
D. PATOFISIOLOGI
1. Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat, Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan sel-sel radang. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofi endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan berkembang biak, terjadi penjalaran hematogen yang menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Multiplikasi diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II yang terjadi 6-8 minggu setelah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut berkurang jumlahnya. Terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatrik. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan lalu menghilang. Timbul stadium laten. Jika infeksi T.pallidum gagal diatasi oleh proses imunitas tubuh, kuman akan berkembang biak lagi dan menimbulkan lesi rekuren. Lesi dapat timbul berulang-ulang.
2. Stadium Lanjut
Stadium laten berlangsung bertahun-tahun karena treponema dalam keadaan dorman. Treponema mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.
F. KLASIFIKASI dan GEJALA
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisital (didapat). Sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis dini (sebelum dua tahun), lanjut (setelah dua tahun), dan stigmata. Sifillis akuisita dapat dibagi menurut dua cara yaitu:
- Klinis (stadium I/SI, stadium II/SII, stadium III/SIII) dan
- Epidemiologik, menurut WHO dibagi menjadi:
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II, stadium rekuren, dan stadium laten dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut dan S III.
GEJALA KLINIS
Sifilis Akuisita
1. Sifilis Dini
a. Sifilis Primer (S I)
b. Sifilis Sekunder (S II)
2. Sifilis Lanjut
G. DIAGNOSA BANDING
1. Stadium I
§ Herpes simplek
§ Ulkus piogenik
§ Skabies
§ Balanitis
§ Limfogranuloma venereum (LGV)
§ Karsinoma sel skuamosa
§ Penyakit behcet
§ Ulkus mole
2. Stadium II
§ Erupsi obat alergik
§ Morbili
§ Pitiriasis rosea
§ Psoriasis
§ Dermatitis seboroika
§ Kandiloma akuminatum
§ Alopesia areata
3. Stadium III
§ Sporotrikosis
§ Aktinomikosis
H. PENCEGAHAN
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah seseorang agar tidak tertular penyakit sifilis. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain:
1. Tidak berganti-ganti pasangan
2. Berhubungan seksual yang aman: selektif memilih pasangan dan pempratikkan ‘protective sex’.
3. Menghindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang sudah terinfeksi.
I. PENATALAKSANAAN
Penderita sifilis diberi antibiotik penisilin (paling efektif). Bagi yang alergi penisillin diberikan tetrasiklin 4×500 mg/hr, atau eritromisin 4×500 mg/hr, atau doksisiklin 2×100 mg/hr. Lama pengobatan 15 hari bagi S I & S II dan 30 hari untuk stadium laten. Eritromisin diberikan bagi ibu hamil, efektifitas meragukan. Doksisiklin memiliki tingkat absorbsi lebih baik dari tetrasiklin yaitu 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.
Obat lain adalah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4×500 mg/hr selama 15 hari, Sefaloridin memberi hasil baik pada sifilis dini, Azitromisin dapat digunakan untuk S I dan S II.
J. PROGNOSIS
Prognosis sifilis menjadi lebih baik setelah ditemukannya penisilin. Jika penisilin tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskuler, neurosifilis, dan 23% akan meninggal.
Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu.
Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun setelah terapi berupa lesi menular pada mulut, tenggorokan, dan regio perianal. Selain itu, terdapat kambuh serologik.
Pada sifilis laten lanjut, prognosis baik. Pada sifilis kardiovaskuler, prognosis sukar ditentukan. Prognosis pada neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat kerusakan.
Sel saraf yang sudah rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis pada sifilis dini baik, angka penyembuhan dapat mencapai 100%. Neurosifilis asimtomatik pada stadium lanjut juga baik, kurang dari 1% memerlukan terapi ulang
Prognosis sifilis kongenital dini baik. Pada yang lanjut, prognosis tergantung pada kerusakan yang sudah ada.
K. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran, status gizi, TB, BB, suhu, TD, nadi, respirasi
b. Pemeriksaan sistemik
Kepala (mata, hidung, telinga, gigi&mulut), leher (terdapat perbesaran tyroid atau tidak), tengkuk, dada (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi), genitalia, ekstremitas atas dan bawah.
c.Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium (kimia darah, ureum, kreatinin, GDS, analisa urin, darah rutin)
2. Diagnosa Keperawatan & Intervensi
a. Nyeri kronis b.d adanya lesi pada jaringan
Tujuan: nyeri klien hilang dan kenyamanan terpenuhi
Kriteria:
- Nyeri klien berkurang
- Ekspresi wajah klien tidak kesakitan
- Keluhan klien berkurang
Intervensi:
- Kaji riwayat nyeri dan respon terhadap nyeri
- Kaji kebutuhan yang dapat mengurangi nyeri dan jelaskan tentang teknik mengurangi nyeri dan penyebab nyeri
- Ciptakan lingkungan yang nyaman (mengganti alat tenun)
- Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
b. Hipertermi b.d proses infeksi
Tujuan: klien akan memiliki suhu tubuh normal
Kriteria:
- Suhu 36–37 °C
- Klien tidak menggigil
- Klien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi:
- Observasi keadaan umum klien dengan tanda vital tiap 2 jam sekali
- Berikan antipiretik sesuai anjuran dokter dan monitor keefektifan 30-60 menit kemudian
- Berikan kompres di dahi dan lengan
- Anjurkan agar klien menggunakan pakaian yang tipis dan longgar
- Berikan minum yang banyak pada klien
c. Cemas b.d proses penyakit
Tujuan: cemas berkurang atau hilang
Kriteria:
- Klien merasa rileks
- Vital sign dalam keadaan normal
- Klien dapat menerima dirinya apa adanya
Intervensi:
- Kaji tingkat ketakutan dengan cara pendekatan dan bina hubungan saling percaya
- Pertahankan lingkungan yang tenang dan aman serta menjauhkan benda-benda berbahaya
- Libatkan klien dan keluarga dalam prosedur pelaksanaan dan perawatan
- Ajarkan penggunaan relaksasi
- Beritahu tentang penyakit klien dan tindakan yang akan dilakukan secara sederhana.
L. DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.
http://www.warmasif.co.id/archieves/artikel/seksologi.
http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip.
http://www.nurularifin.com/info/penyakit_Menular_Seksual_Sifilis.php.